Kompetensi Wajib Auditor Syari’ah
Oleh Kunti Jeihan Qisytiyah
Selama beberapa tahun
terakhir Institusi Keuangan Syari’ah mulai mengalami perkembangan di Indonesia.
Banyak bermunculan Institusi Keuangan Syari’ah, baik dari sektor perbankan
maupun non perbankan. Menurut situs www.bi.go.id Total per April 2016 jumlah
BUS tercatat sebanyak 12 dan UUS sebanyak 22. Jumlah tersebut terbilang banyak
mengingat mereka bermunculan hanya dalam kurun waktu kurang lebih 1 dekade.
Institusi keuangan
syari’ah lain yang mulai marak di masyarakat adalah dari sektor asuransi.
Banyak perusahaan asuransi didirikan dengan menganut konsep usaha syari’ah.
Perusahaan asuransi konvensional pun mulai membuka jasa produk asuransi
syariah. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh ketua umum asosiasi asuransi
syariah Indonesia (AASI) Taufik Marjuniadi menyatakan saat ini terdapat 8
perusahaan asuransi syariah baik jiwa atau umum. Dengan rincian 19 unit
asuransi jiwa syariah, 22 unit asuransi umum, 2 unit reasuransi syariah dan satu
unit full, 8 pialang asuransi syariah dan satu perusahaan penjamin syariah. (www.aasi.or.id)
Tetapi dengan semua
pertumbuhan dan perkembangan diatas, Institusi Keuangan Syariah masih mengalami
kesusahan dalam menjalankan usahanya. Seperti yang dialami oleh sektor
perbankan syariah. Memasuki periode kartal II/2016 laba perbankan syariah
mengalami penurunan yang signifikan. OJK mencatat bahwa laba perbankan syariah
turun hingga 37,81 persen per Mei 2016. BUS mencatatkan kerugian sebesar 14
Miliar, sedangkan UUS masih mencatatkan kenaikan laba tipis dibanding tahun
lalu sebesar 700 miliar atau sebesar 1,59 persen. Market bank syariah juga
masih dibawah angka 5 persen, jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang berada
di angka 20 an persen. (www.m.bisnis.com)
Penyebab permasalahan Institusi
Keuangan Syariah diatas bisa jadi karena kurang patuhnya Institusi Keuangan
Syariah terhadap syari’at islam itu sendiri. Peneliti Junior BI Ali Sakti,
menyatakan dalam salah satu kuliahnya bahwa salah satu yang membedakan antara Institusi
Keuangan Syariah dengan Institusi Keuangan Konvensional adalah ada nya fakor
yang dinamakan “keberkahan”. Ketika Institusi Syariah mulai meninggalkan hukum
syariah, baik secara sistem atau motif maka keberkahan akan hilang. Sehingga
dengan SDM berkemampuan terbaik pun kegiatan usaha tidak membuahkan hasil yang
baik.
Salah satu cara untuk
memastikan bahwa Bank Institusi Keuangan Syariah mematuhi dan melaksanakan
hukum syariah dengan melakukan proses audit, yang mana bukanlah proses audit
biasa melainkan proses audit syariah. Secara umum audit syariah hamper sama
dengan audit konvensional yaitu melakukan pemerInstitusi Keuangan Syariahaan
terhadap laporan keuangan, hanya saja audit syariah juga menilai apakah Institusi
Keuangan Syariah telah mematuhi dan tidak melanggar syari’at islam. Karena itu
proses audit haruslah dilakukan oleh individu yang memiliki kemampuan dan
pemahaman yang mumpuni dari segi akuntansi maupun segi hukum/Syari’at Islam.
Pada prakteknya saat
ini yang melakukan audit syariah adalah seorang auditor yang sedikit paham Syari’at
Islam atau sebaliknya orang yang faham akan Syari’at Islam tetapi memiliki
sedikit kemampuan akuntansi. Auditor Syariah yang benar – benar kompeten pun
sedikit sulit ditemukan. Hal ini terjadi karena saat ini di Indonesia belum ada
kerangka dasar yang menjadi acuan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang Auditor
Syariah.
Salah satu kerangka
dasar yang mungkin dapat diaplikasikan di Indonesia adalah usulan dari Nor Aishah Mohd Alia,
Zakiah Muhammadun Mohamedb, Shahida Shahimib, Zurina Shafii dalan jurnal mereka yang berjudul “Competency of Shariah Auditors in Malaysia:
Issues and Challenges”. Dalam jurnal tersebut mereka mengusulkan
sebuah model kerangka dasar kompetensi apa saja yang harus dimilki oleh
sseorang Auditor Syariah.
Mereka
menyatakan bahwa seseorang yang disebut Auditor Syariah komepeten adalah mereka
yang memiliki tiga hal wajib, yaitu knowledge, skill, dan karakteristik
lain. Yang dimaksud knowledge disini adalah pengetahuan yang diperoleh
auditor syari’ah ketika sedang menempuh pendidikan formal dan pengetahuan yang
diperoleh melalui kegitana pelatihan, seminar, dsb. Untuk memenuhi hal ini
idealnya kampus – kampus dengan jurusan ekonomi syariah di Indonesia
menghadirkan mata kuliah auditing syariah.
Kriteria
kedua yang harus dipenuhi adalah skill atau keterampilan kerja. Seorang Auditor
Syariah haruslah memiliki keterampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan yang
didapat dalam praktek kerja sesungguhnya. Keterampilan yang harus dimiliki oleh
seorang auditor telah diatur oleh Internal Audit Research Foundation (IIRF)
yang terdiri dari 5 keterampilan teknis dan 5 keterampilan perilaku. Diantaranya
adalah keterampilan untuk memahami bisnis klien, analisa resiko, mampu bersifat
obyektif, dan lain sebagainya.
Kriteria
ketiga yang harus dipenuhi adalah karakteristik lain. Karakteristik lain
merujuk pada karakteristik khusus yang dimiliki oleh tiap individu. Untuk
menilai karakter yang paling sesuai dengan karakter seorang Auditor Syariah
maka dapat dilakukan tes psikologi.
Selain
ketiga hal diatas, seorang Auditor Syariah juga haruslah memilki pengetahuan
yang baik akan syari’at islam, baik secara ilmu maupun praktek. Individu yang
hanya memahami Syari’at Islam secara ilmu saja tanpa mempraktikkannya dalam
kehidupan tidak dapat dipercayai kredibilitasnya sebagai seseorang yang
mengawasi praktek muamalah.
Dengan
memilki ketiga kriteria kompetensi diatas dan pemahaman dan praktik akan
syari’at islam yang mumpuni seseorang barulah dapat disebut sebagai Auditor
Syariah kompeten, yang mana diharapkan dapat membantu Institusi Keuangan
Syariah maju dan tidak kehilangan berkah.
Referensi
- Nor Aishah Mohd Alia, Zakiah Muhammadun Mohamedb, Shahida Shahimib, Zurina Shafii. Competency of Shariah Auditors in Malaysia: Issues and Challenges. Journal of Islamic Finance, Vol. 4 No. 1 (2015) 022 – 030.IIUM Institute of Islamic Banking and Finance.
- www.m.bisnis.com
- www.bi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar